Mengurus Dokumen Kelahiran di Jepang dan Indonesia

Urusan dokumen dan administrasi adalah salah satu yang paling menguras waktu, tenaga, dan juga emosi (hahaha). Baik di Indonesia maupun di Jepang, masing-masing punya tantangannya tersendiri. Penting untuk mengalokasikan waktu yang cukup untuk mempersiapkan dokumen pendukung, mobilitas dari dan ke balai kota atau kantor imigrasi, dan memperhatikan tenggat waktu yang diberikan untuk pengajuan dokumen tersebut.

Pelaporan kelahiran ke balai kota (city hall)

Setelah menerima surat keterangan lahir dari RS (出生届 – Shusshōtodoke), kami melakukan pelaporan kelahiran ke balai kota, dan menerima dokumen seperti sertifikat kelahiran serta tanda bukti bahwa pelaporan kelahiran sudah dilakukan (記載事項証明書 – Kisai jikō shōmei-sho). Selain itu, kami juga menerima beberapa dokumen lain seperti 母子 手著 (Buku Catatan Kesehatan Ibu dan Anak) dan kartu asuransi anak. Fasilitas lain seperti bantuan dalam bentuk voucher dari pemerintah daerah dan Tokyo serta buku vaksinasi dikirimkan melalui pos ke alamat rumah.

Pelaporan ke city hall ini harus dilakukan dalam kurun waktu 14 hari setelah kelahiran. Bersyukurnya ketika saya lahiran, suami ambil cuti kerja sekitar dua minggu — sehingga bisa langsung mengurus kewajiban administrasi.

Pembuatan Residence Card Jepang di Kantor Imigrasi

Langkah selanjutnya adalah pembuatan residence card (在留カード). Di Indonesia, ini serupa dengan Kartu Identitas Anak (KIA) yang regulasinya mulai diberlakukan sekitar 2016. Bentuk residence card untuk anak di Jepang hampir sama dengan versi dewasa, namun yang membedakan adalah pada kartu ini tidak dicantumkan foto, kecuali yang bersangkutan sudah berusia di atas 17 tahun. Di Tokyo, ada dua kantor imigrasi yang bisa dituju — kantor imigrasi di Shinagawa dan perwakilan kantor imigrasi di Tachikawa. Dua kantor imigrasi ini sama-sama punya antrian yang cukup panjang, sehingga perlu manage ekspektasi dan meluangkan waktu untuk mengurus dokumen di sini.

Dokumen pendukung yang perlu dilampirkan untuk pelaporan ke city hall dan kantor imigrasi bisa dilihat di situs web ini, ya: Kanagawa International Foundation. Informasinya tersedia dalam beberapa bahasa asing, termasuk Bahasa Indonesia.

Pelaporan kelahiran ke Kedutaan Besar Republik Indonesia

Tuntas menunaikan kewajiban sebagai resident di Jepang, berikutnya adalah memenuhi kewajiban sebagai warga negara Indonesia , hahaha. Setelah melakukan pelaporan kelahiran di KBRI, saya menerima dokumen Surat Keterangan Lahir (SKL) yang nantinya akan digunakan sebagai salah satu dokumen pendukung untuk pembuatan paspor anak dan juga pembuatan akta lahir di Indonesia.

Persyaratan dan daftar dokumen pendukung untuk pembuatan SKL bisa dilihat di situ web Kementerian Luar Negeri RI, ya. Pengalaman saya, proses pembuatan SKL ini cukup cepat, namun ketika dokumen saya terima (dikirim via pos), ternyata ada salah ketik pada tanggal lahir anak. Saya coba kontak bagian konsulat KBRI via email dan dapat segera direvisi.

Setelah menerima SKL yang sudah direvisi, kami segera mendaftar untuk pembuatan paspor anak, sekaligus perpanjangan paspor untuk saya. Setelah berdiskusi, pihak KBRI juga berkenan untuk menyamakan jadwal foto paspor saya bersama dengan jadwal foto paspor anak — sehingga suami tidak perlu ijin dua kali dan urusan paspor ini selesai dalam sehari.

Saat ini untuk paspor dewasa, masa berlakunya sudah menjadi 10 tahun, sedangkan untuk bayi masa berlakunya masih 5 tahun.

Pembuatan Akta Kelahiran dan Pembaruan Kartu Keluarga di Indonesia

Sudah lapor ke city hall dan imigrasi, laporan ke KBRI dan pembuatan paspor juga sudah rampung, namun masih ada satu tugas lagi — pembuatan akta lahir dan pembaruan kartu keluarga (penambahan anggota keluarga) di Indonesia. Bagian ini juga tak kalah menguras tenaga, terutama emosi, hahaha.

Ketika menerima dokumen SKL, pihak KBRI juga menyarankan untuk segera membuat akta lahir dalam kurun waktu satu tahun setelah kelahiran anak. Akhir tahun 2023 lalu, kami bertiga kebetulan juga berangkat ke Indonesia untuk menghadiri acara keluarga. Pembuatan akta lahir ini juga kami masukkan sebagai salah satu to-do list yang harus diselesaikan.

Kami mengalokasikan satu hari kerja (weekday) khusus untuk mengurus akta lahir ini, dengan target semua dokumen sudah diserahkan dan tinggal menunggu akta lahir selesai dicetak. Kenyataannya yang terjadi sangat jauh dari ekspektasi ideal kami. Hari itu kami mendatangi kantor kelurahan sesuai alamat tempat tinggal (Jakarta Barat). Antrian cukup sepi sehingga tidak perlu menunggu lama. Sampai di loket untuk Dukcapil, petugas mengatakan bahwa untuk pembuatan akta lahir dengan kelahiran di luar negeri, tidak bisa dilakukan di tingkat kelurahan (kelurahan hanya mengurus untuk kelahiran di Indonesia). Pendaftaran akta lahir dengan kelahiran luar negeri harus dilakukan di kantor Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil Provinsi DKI Jakarta.

Kami pun langsung berangkat ke kantor Dinas Dukcapil yang berlokasi di daerah S. Parman – Tomang. Meski sampai di lokasi sudah masuk jam makan siang, untungnya masih ada petugas yang berjaga di loket. Suami antri di loket sembari membawa dokumen, sementara saya menunggu di parkiran mobil sambil jaga anak. Selang sekitar 30 menit, suami kembali ke mobil. Singkat cerita — petugas dukcapil menyampaikan bahwa pendaftaran akta kelahiran harus dilakukan secara ONLINE dan untuk kelahiran luar negeri, akta lahir versi Jepang wajib diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia oleh penerjemah tersumpah (sworn translator). Kami diberikan secarik kertas kecil berisikan informasi cara registrasi akta lahir secara online dan nomor layanan di Telegram/WhatsApp jika ada pertanyaan seputar admin dukcapil.

Sebenarnya kami sudah punya seluruh dokumen yang dibutuhkan, namun yang menjadi tantangan hanya penerjemahan akta lahir, DAN menemukan dokumen mana yang disebut sebagai “akta lahir Jepang”. Kenapa hal ini membingungkan? karena di Jepang tidak ada dokumen yang benar-benar disebut “akta lahir” — yang ada adalah “laporan kelahiran” dan “bukti pencatatan kelahiran”. Bentuknya berbeda dengan akta lahir Indonesia.

Saya mulai menghubungi teman dan saudara yang sekiranya punya rujukan ke penerjemah tersumpah. Beberapa yang saya kontak tidak memiliki kapabilitas untuk menerjemahkan bahasa Jepang ke Indonesia. Sampai akhirnya saya mencoba untuk menghubungi dua penerjemah tersumpah setelah berdiskusi sana sini. Penerjemah pertama yang saya kontak memberikan layanan yang sangat mengecewakan — di awal cukup responsif meski chat dijawab oleh bot, namun saat mulai berkoordinasi untuk review dokumen, penerjemah ini merespon dengan sangat lambat dan kurang profesional. Salah satu yang membuat saya cukup emosi adalah penerjemah tiba-tiba mengirimkan hasil terjemahan yang sudah diberi cap dan tanda tangan basah padahal isi terjemahan tersebut belum saya review dan approve. Ada beberapa bagian yang salah ketik. Beberapa kali juga penerjemah salah kirim dokumen milik orang lain. Saya putuskan untuk berhenti menggunakan jasanya dan melunasi pembayaran.

Saya mulai mengisi form registrasi akta lahir secara online, mengunggah dokumen pendukung, termasuk terjemahan akta lahir dari penerjemah pertama ini. Beberapa hari setelah registrasi, saya mendapatkan respons via Telegram dari Dukcapil bahwa dokumen terjemahan akta lahir yang saya cantumkan itu SALAH — bukan dokumen tersebut yang dimaksud. Saat itu saya merasa hopeless mengingat apa yang saya lalui dengan penerjemah pertama tadi. Namun urusan akta lahir ini harus segera diselesaikan supaya tidak ada kendala administrasi di Indonesia.

Saya mencoba menilik lagi sebetulnya dokumen mana yang di-recognize sebagai akta lahir Jepang. Pada percakapan dengan Dukcapil di Telegram, mereka meminta dilampirkan akta lahir dengan nomor 14**. Lalu saya lihat kembali di SKL dari KBRI, tertulis bahwa KBRI juga merujuk pada “Registrasi Surat Keterangan Kelahiran nomor 14**” untuk membuat SKL. Namun, di kami saat itu tidak ada dokumen dengan nomor tersebut. Kami mencoba mengingat kembali, dan suami baru teringat bahwa ketika dia melaporkan kelahiran anak di city hall, dia menerima selembar dokumen yang dicetak dan ditandatangani oleh petugas terkait. Saat itu dia sempat meminta dua copy namun hanya diberikan satu untuk keperluan pembuatan SKL ke KBRI, dan kami tidak memfoto atau memindai dokumen tersebut. Akhirnya, kami pergi ke city hall untuk meminta kembali hasil cetakan dokumen itu (記載事項証明書 / Kisai jiko shomei-sho).

Dokumen Kisai jiko shomei-sho

Kali ini saya menghubungi penerjemah kedua. Salah satu pertimbangannya adalah karena tim admin penerjemah ini beberapa kali menghubungi saya via WhatsApp untuk follow-up apakah saya masih membutuhkan jasa penerjemahan. Saya hubungi kembali penerjemah ini dan ternyata koordinasinya sangat lancar. Respon juga cepat. Baik chat WhatsApp maupun email, semua alur percakapan sangat jelas dan direspon dengan profesional. Dalam kurun waktu 3 hari, dokumen saya selesai diterjemahkan. Saya dan suami kaget juga karena layanannya berbeda jauh dengan penerjemah pertama. Mereka juga memberikan saya waktu untuk memeriksa hasil terjemahan dan merevisi beberapa kesalahan minor seperti ejaan nama dan format penulisan alamat. Selain layanan yang memuaskan, tarif per halaman terjemahan juga lebih murah.

Segera setelah menerima terjemahan akta lahir, saya registrasi ulang dan lampirkan semua dokumen. Pada hari yang sama, saya menerima notifikasi via WhatsApp dari Dukcapil bahwa dokumen akta lahir sudah selesai (dokumen dikirimkan dalam bentuk PDF dengan QR code dan dapat dicetak secara mandiri).

Sudah lebih lega namun belum selesai sampai di situ.

Masih ada satu pekerjaan lagi — pembaruan kartu keluarga di Indonesia (penambahan anggota keluarga). Untuk yang satu ini, kami meminta bantuan dari keluarga di Indonesia untuk mengurus ke kelurahan. Beberapa dokumen yang kami siapkan sebagai berikut:

  • Surat akta lahir (Indonesia)
  • ⁠Fotokopi KTP-El orang tua dan kartu keluarga (Pelapor adalah ayah atau ibu kandung)
  • Fotokopi akta nikah istri & akta nikah suami
  • Fotokopi KTP-El dua orang saksi
  • KK Asli
  • Surat kuasa — ini kami buat jika diminta oleh pihak kelurahan; berhubung yang datang melapor ke kantor lurah adalah orang tua suami (mewakili kami).

Setelah pembaruan selesai dan dokumen juga lengkap, kartu keluarga kami yang terbaru langsung tersedia dan dapat diakses lewat aplikasi Identitas Kependudukan Digital dari Kemendagri.

Rasanya benar-benar sangat lega. Urusan admin ini memang yang paling rumit, tapi sedapat mungkin dibereskan segera. Sebagai konteks tambahan, ini adalah proses admin di DKI Jakarta — di provinsi lain bisa jadi berbeda prosedurnya.

Terkait penerjemah tersumpah — saya gak ingin badmouthing penerjemah yang pertama, jadi, saya bagikan nama dan kontak penerjemah kedua yang kinerjanya sangat saya apresiasi.

Solusi Penerjemah (CV Solusindo Karya Nusa)

info@solusipenerjemah.com / WA: 08999045858

Jika ada yang ingin tahu detail lain dari pengalaman saya di atas, jangan ragu untuk tinggalkan pertanyaan di kolom Komentar, ya!

Semoga bermanfaat! 🙂

Pengalaman Melahirkan di Jepang

Awalnya tulisan ini ingin saya bagikan menjelang ulang tahun pertama anak. Sayangnya, semangat belum terkumpul dan waktu yang terus tergerus oleh urusan domestik. Selain berharap tulisan ini bermanfaat bagi mereka yang membutuhkan informasi, tulisan ini juga menjadi kenangan pribadi.

Surat referensi dari klinik dan survei rumah sakit untuk lahiran

Setelah melihat test pack yang bergaris dua, saya dan suami segera mencari klinik obgyn yang dekat dengan tempat tinggal. Saat USG transvaginal pertama kali, dokter belum mendeteksi detak jantung, namun sudah melihat kantung hamil (gestational sac). Selain itu, dokter juga menemukan adanya kista ovarium dengan ukuran yang cukup besar — sekitar 10 cm. Saya diminta untuk tes darah untuk melihat apakah ada potensi kanker. Kami datang kembali minggu berikutnya untuk pemeriksaan ulang, dan akhirnya dokter dapat mengkonfirmasi kehamilan tersebut (usia kehamilan sekitar 6 minggu). Kondisi kista pun dinyatakan jinak (bukan kanker).

Salah satu hal menarik yang saya temui saat pertama kali datang ke klinik ini adalah ketika diminta mengisi form kuesioner, ada salah satu poin yang menanyakan apakah saya telah memutuskan untuk melanjutkan kehamilan ini atau tidak. Baru-baru ini saya mengetahui bahwa di Jepang, perempuan hamil berhak untuk menggugurkan kandungannya hingga usia kehamilan sekitar 20 minggu.

Setelah menerima hasil lab dan surat referensi dari klinik, kami memulai survei rumah sakit yang akan dijadikan tempat lahiran. Beberapa faktor utama yang menjadi pertimbangan kami adalah:

  • Lokasi: cukup dekat dengan tempat tinggal (maksimal 8-10 km atau sekitar 30-40 menit perjalanan dengan mobil) dan jika memungkinkan, berada dalam satu wilayah kota administratif (-ku) yang sama dengan tempat tinggal. Mengapa lebih memilih di kota yang sama? Supaya ketika mengurus hal-hal administratif seperti laporan kelahiran dan dokumen kenegaraan lainnya, kami lebih efisien tenaga dan waktu, serta bisa menghindari kendala-kendala lain terkait administrasi.
  • Kemampuan berbahasa Inggris staff medis: poin ini sulit untuk dinilai karena sangat subyektif — saat itu, suami (bisa berbahasa Jepang lancar) menelepon langsung ke rumah sakit yang masuk daftar dan hanya 1-2 rumah sakit yang menyatakan “bisa” berbahasa Inggris” atau setidaknya sering menerima pasien orang asing (non-Japanese).
  • Fasilitas dan biaya melahirkan: metode lahiran normal dan C-section memiliki durasi rawat inap yang berbeda sehingga menentukan biaya yang perlu disiapkan.
  • Ketersediaan labor analgesia/epidural: karena ini adalah pengalaman lahiran pertama, sebetulnya saya tidak terlalu paham kenapa harus/tidak harus pakai pengurang rasa sakit. Ternyata di Jepang, tidak semua rumah sakit menyediakan dan kalaupun tersedia, harus mendaftar jauh-jauh hari dengan biaya yang tidak sedikit. Metode lahiran normal (vaginal birth) sangat diprioritaskan di Jepang, kecuali ada kondisi medis tertentu atau ibu dan janin dalam kondisi gawat darurat.
  • Keunggulan/bidang keahlian: kehamilan dengan kista ovarium membuat saya mencari rumah sakit yang memiliki keahlian untuk menangani situasi ini.

Dari 4 rumah sakit yang masuk daftar, pilihan kami jatuh ke Kosei Hospital. Lokasinya di kota yang sama dengan tempat tinggal; biaya lahiran yang cukup moderate (tidak terlalu mahal, tapi tidak sangat murah juga); dan memiliki pengalaman menangani pasien orang asing serta operasi terkait endometriosis.

Lapor kehamilan ke city hall

Di Jepang, ibu hamil dan anak-anak difasilitasi dengan bantuan pendanaan dalam berbagai bentuk dan nilai yang berbeda-beda dari pemerintah daerah. Selain merupakan kewajiban sebagai resident, pelaporan kehamilan ke city hall ditujukan agar calon orang tua dan anak nanti bisa mendapatkan hak-haknya secara penuh.

Sembari membawa dokumen seperti data diri, kartu keluarga dan hasil USG, petugas city hall memberikan beberapa informasi dan dokumen penting — diantaranya adalah voucher subsidi sebagian biaya konsultasi kehamilan (hingga usia kehamilan 40 minggu) dan boshi techo — buku kesehatan Ibu dan Anak. Buku ini wajib dibawa saat konsultasi kehamilan dan ketika membawa anak konsultasi ke dokter. Banyak form yang harus saya isi — sebagian besar adalah kuesioner tentang kondisi fisik dan mental terkait kehamilan. Meski suami bisa membantu menerjemahkan, pihak city hall menawarkan fasilitas penerjemah bahasa Jepang – Indonesia secara online. Saya juga menerima banyak brosur dan booklet — yang berisikan informasi tentang pengasuhan anak, help center jika ada kondisi darurat, hingga panduan jika terjadi bencana alam. Informasinya sangat detail — tentu ini sangat membantu kami sebagai first-time parent.

Konsultasi kehamilan di rumah sakit dan operasi kista ovarium

Kunjungan pertama saya ke obgyn di Kosei Hospital sekitar dua minggu setelah kunjungan terakhir ke klinik. Berbeda dengan Indonesia yang mana bisa memilih mau ke dokter siapa, di Jepang saya tidak bisa memilih. Selama konsultasi kehamilan, saya bertemu dengan 2 dokter berbeda (ada perempuan dan laki-laki), dan kualitas perawatan yang saya terima tetap sama — walaupun saya lebih memilih obgyn perempuan karena beliau lebih “niat” untuk berkomunikasi dengan saya dalam bahasa Inggris, meski terbatas.

Dengan kondisi kista ovarium, dokter membuat jadwal konsultasi saya menjadi 2 minggu sekali hingga hari kelahiran. Ini berbeda dengan kondisi kehamilan normal pada umumnya. Setelah melewati beberapa sesi konsultasi, dokter menyarankan saya untuk melakukan laparoskopi untuk membuang kista ovarium tersebut. Pertimbangannya adalah ukuran kista yang cukup besar memiliki resiko rupture atau pecah ketika ukuran bayi semakin membesar di dalam rahim. Jika terjadi rupture, maka harus dilakukan emergency C-section.

“Kenapa gak bisa sekalian diangkat saat lahiran?”

Menurut informasi dari rumah sakit, toleransi ukuran kista yang bisa diangkat saat lahiran adalah maksimal 5 cm. Awalnya saya sempat enggan untuk operasi, namun setelah diskusi dengan suami dan mempertimbangkan saran dokter, akhirnya saya memilih untuk laparoskopi. Operasi kista ini dilakukan pada usia kehamilan 20 minggu — saat kondisi janin sudah cukup kuat. Jenis anastesinya adalah bius total. Saya belum pernah menjalan operasi apapun — meski laparoskopi ini masuk kategori minimal invasive surgery — saya tetap merasa gugup namun mencoba tetap tenang dengan mantra: this too shall pass; we can do this. Sebelum hari operasi, saya diwajibkan menjalani beberapa tes, seperti MRI (untuk melihat kondisi kista), EKG, X-Ray, tes darah dan tes urin.

Operasi berlangsung sekitar 2 jam. Saat anastesi mulai mengalir, rasanya seperti masuk ke dalam deep sleep. Tim medis membangunkan saya dengan memanggil nama dan menepuk bahu. Ketika kesadaran masih dalam perjalanan, salah satu tim medis mengatakan bahwa suami saya ingin bicara melalui sambungan telepon. Anehnya, saat ditanya, “Gimana kondisi kamu?”, saya malah menjawab dalam bahasa Inggris, hahaha. Saat itu hal pertama yang terlintas di pikiran saya adalah, I also need to let the doctors and nurses know how I really feel. Jadilah saya nyerocos dalam bahasa Inggris dengan kondisi setengah sadar.

Selain pemeriksaan USG rutin dengan obgyn, saya juga menerima pemeriksaan lain seperti anatomy scan — pemeriksaan ini lebih detail dari USG biasa dan dilakukan oleh dokter spesialis bidang terkait. Anatomy scan ini memeriksa kelengkapan anggota tubuh dan organ vital janin, seperti jantung. Edukasi tentang gizi dan panduan merawat bayi baru lahir juga diberikan oleh bidan, termasuk pemantauan berat badan. Di Jepang, ibu hamil disarankan untuk tidak mengalami kenaikan BB yang terlalu tinggi. Tes darah dilakukan sebanyak 3 kali selama kehamilan dan saya juga diminta untuk tes urin di setiap kunjungan ke obgyn. Salah satu tujuan tes urin ini adalah untuk mengetahui apakah terdapat kadar gula dan protein pada urin, yang berpotensi menyebabkan gestational diabetes.

Menulis birth plan (rencana kelahiran)

Saat memasuki trimester ketiga, bidan memberikan saya dan suami kesempatan untuk membuat birth plan. Apa itu birth plan? Mengutip dari situs edukasi kehamilan dan pengasuhan TheBump.com: “A birth plan is a tool to help you get educated and organized on your options and preferences before the big delivery day. It covers every aspect of your labor, birth and recovery experience, as well as the care your newborn receives directly after.” Di dalam birth plan, saya bisa menuliskan tentang bagaimana preferensi saya saat proses persalinan berlangsung nanti, misalnya: ingin/tidak ingin pakai epidural (unmedicated birth), tidak mau ada episiotomy, atau ingin ada skin-to-skin segera setelah anak lahir. Namun saya pribadi cukup fleksibel dan memercayakan kepada tim dokter apabila diperlukan intervensi medis karena situasi tertentu.

Saya mengisi birth plan ini dengan berdiskusi bareng suami — kami bahkan menuliskannya dalam dua bahasa (Jepang dan Inggris), hahaha. Isi birth plan ini kami sampaikan ke tim bidan saat sesi konsultasi — selain itu kami juga sampaikan lagi apa yang menjadi concern dan harapan saat proses persalinan.

Persiapan menuju hari persalinan

Sekitar satu minggu sebelum hari persalinan, saya mengalami vaginal discharge dengan warna transparan dan tekstur seperti air, tanpa tanda kontraksi. Saya pun tetap beraktivitas seperti biasa. Hari Sabtu pagi saya dan suami pergi ke RS untuk konsultasi obgyn — saat itu usia kehamilan sekitar 39 minggu. Kami sampaikan bahwa 5 hari terakhir mulai ada watery discharge, dan dokter melakukan USG transvaginal. Dari hasil pemeriksaan tersebut, saya diminta untuk tidak pulang ke rumah dan langsung rawat inap karena air ketuban sudah mulai rembes. Hal ini juga berarti ketuban berpotensi untuk pecah kapan saja. Untungnya saya sudah siapkan hospital bag di rumah — sehingga suami bisa pulang dan membawa kembali hospital bag ke RS.

“Apa saja yang perlu dibawa di hospital bag?”

Ini adalah isi hospital bag versi pribadi — bisa disesuaikan dengan kebutuhan dan kondisi di RS masing-masing:

For Mom

  • Wallet (ID, hospital card, insurance card, CC, petty cash)
  • Phone charger + long cord, earphone
  • Hospital admin documents
  • Birth Plan
  • Nursing bras (3 pcs), underwear (6 pcs), post-partum diapers/menstrual pad, breast pad
  • Pajamas with button (2 sets)
  • Stretchy leggings (3 pcs), T-shirt (2 pcs)
  • Slip-on shoes or flip-flops (1 slip-on shoes, 1 indoor sandals)
  • Socks (3 pairs)
  • Going-home outfit (loose dress + legging)
  • Toothbrush, toothpaste
  • Face wash, body wash, shampoo
  • Wet wipes (safe for face and body)
  • Personal skincare, body lotion, sunscreen
  • Nipple balm/nipple lotion
  • Hair ties
  • Water bottle, Easy-to-digest snacks, juice
  • Pillow
  • Bath Towel
  • Entertainment/relaxation tools

For Baby

  • Baby onesies/footies/bodysuits, hats, socks, mittens, swaddles (kain bedong), blankets
  • Baby bibs/ gauze
  • Baby bottles
  • Baby diapers and wipes
  • Going home outfit
  • Car seat (optional)

RS biasanya juga menyediakan maternity bag — yang berisikan barang-barang esensial yang diperlukan selama proses lahiran, diantaranya seperti maternity gown, post-partum pad, innerwear, dan breast pad.

Karena RS saya ini masih menerapkan aturan pencegahan covid yang sangat ketat, maka suami tidak diperbolehkan berada di ruang perawatan pasien selama saya berada di sana — bahkan saat proses kelahiran. Jika ingin memberikan barang, bisa bertemu di lobi RS dan dititipkan melalui perawat yang bertugas.

Setelah menandatangani beberapa consent form dari obgyn, saya diminta untuk test PCR. Setelah hasilnya keluar (negatif), saya dan suami berpisah (sementara, hahaha) hingga hari kepulangan saya dari RS.

Mulai dari Sabtu siang itu sampai Minggu sore — berbagai pemeriksaan dan monitor kontraksi dilakukan secara berkala. Saya juga mulai merasakan mild cramping, namun belum seperti kontraksi. Karena air ketuban yang mulai merembes, dokter dan bidan menyarankan untuk banyak berjalan (di koridor RS) untuk memicu kontraksi lebih cepat. Selain itu saya juga diberikan foot massage dan nipple/breast massage. Di Jepang, vaginal delivery sangat diprioritaskan. Obgyn saya juga menyampaikan, jika sampai hari Senin belum lahiran, maka akan diberikan induksi. Apabila sudah diinduksi sebanyak 3x namun belum ada tanda lahiran atau pembukaan, baru akan dilakukan C-section.

Sabtu malam ke Minggu pagi — saya masih bisa tidur cukup. Belum ada kontraksi yang berarti, sehingga saya mencoba sebisa mungkin untuk mengumpulkan energi. Minggu siang – sore, kontraksi mulai terasa. Tekanan terasa ringan dan air ketuban masih aman. Saya mulai mencatat di Notes ponsel kapan kontraksi mulai terasa dan durasinya — berjaga-jaga kalau suster/bidan bertanya.

Minggu malam — kontraksi makin kuat hingga saya tidak bisa tidur. Saya segera memanggil bidan yang bertugas dan saya diminta untuk ke ruang persalinan. Mayoritas staff di bangsal Ibu dan Anak ini tidak bisa berbahasa Inggris, tetapi bidan yang ditugaskan menemani saya untungnya bisa mengerti (passive listening) dan bercakap-cakap dalam bahasa Inggris meski tidak terlalu lancar. Pembawaannya cukup santai — dia tetap memantau kontraksi sambil mengajak saya bicara dan menanyakan apa yang saya perlukan untuk membantu mengatasi rasa sakit kontraksi.

Saat di ruang persalinan, mungkin menjelang jam 12 malam, saya baru di pembukaan 4. Saya pikir, “Ah, ini masih lama. Mungkin besok pagi saya akan diinduksi.” Saya tidak tahu apa rasanya setelah diinduksi — ada yang bilang efek sampingnya membuat kontraksi terasa lebih sakit.

Ternyata, dalam kurun waktu sekitar 5-6 jam, kontraksi bertambah secara cepat. Posisi tiduran hanya membuat kontraksi terasa lebih sakit — jadilah saya berjalan-jalan, duduk – berdiri di dalam ruang bersalin. Sempat muntah beberapa kali karena rasa sakit yang luar biasa. Bidan juga sempat membawakan beberapa hot pack untuk membantu relaksasi.

Sekitar pukul 5.30 pagi hari Senin — saya merasakan dorongan yang sangat kuat di area anus — sensasi seperti ingin BAB yang tidak bisa ditahan. Saat itu saya bilang ke bidan ingin ke toilet. Di toilet, saya mendorong beberapa kali layaknya ketika sedang BAB — namun saya merasakan ada dorongan lain di vaginal area. Saya berhenti sesaat. Bidan mengetuk pintu toilet karena saya sudah hampir 15 menitan di dalam. Saya bilang, ini sakit sekali, rasanya seperti mau ‘poop’. Sepertinya bidan mulai curiga, dan saya diminta kembali ke tempat tidur. Saat dicek, ternyata sudah pembukaan 10! Saya dan bidan sama-sama kaget. Dia bilang, “Don’t push now, please wait for sensei!” Saya mencoba atur nafas dan menahan untuk tidak mengejan meski dorongannya sangat kuat. Bidan dan perawat lain mulai menyiapkan boks bayi dan beberapa perlengkapan persalinan lainnya.

Sekitar 10-15 menit kemudian, obgyn saya pun datang. Awalnya saya mendorong beberapa kali, namun di tengah-tengah proses tersebut, obgyn mengatakan bahwa kepala bayi terlalu besar sehingga harus dilakukan bius lokal untuk episiotomy. Tanpa berpikir lagi saya langsung mengiyakan. Dalam waktu kurang dari 30 menit, yang ditunggu-tunggu pun lahir. Bayi laki-laki seberat 3.614 gram dan tinggi 50.3 cm lahir pada pukul 6.15 pagi (JST). Saat itu saya tidak berkesempatan untuk skin-to-skin — kurang jelas alasannya, tapi sepertinya karena saat itu bayi tidak langsung menangis saat lahir sehingga tim dokter perlu melakukan intervensi. Sembari dokter menjahit bekas episiotomy, tim bidan membersihkan bayi dan melakukan pengecekan kelengkapan organ vital.

Perawatan pasca lahiran di RS

Saya berbagi ruangan (shared room) dengan tiga Ibu melahirkan lainnya. Dua puluh empat jam setelah melahirkan, bayi akan dirawat oleh suster, tetapi di hari berikutnya bayi akan bersama Ibu. Jika ingin menyusui, maka saya diminta untuk menyusui bayi saya di ruang bayi, bukan di kamar rawat inap.

“Kenapa tidak menyusui di kamar inap saja?”

Saya kurang tahu alasan persisnya, tapi sepertinya supaya proses menyusui terpantau oleh bidan dan suster. Selain itu, lebih memudahkan bagi Ibu jika ingin dibuatkan susu formula. Selama di RS, saya melihat para bidan dan suster cukup netral dalam hal menyusui — mereka membantu para Ibu belajar cara menyusui langsung (DBF) yang benar namun tetap memberikan susu formula jika diperlukan (sesuai permintaan Ibu). Saya juga diajari cara mengganti popok dan memandikan bayi. Dokter juga memeriksa luka jahitan beberapa hari setelah lahiran dan sebelum pulang dari RS.

Beberapa tes juga dilakukan untuk bayi, diantaranya tes darah untuk mendeteksi congenital metabolism abnormalities dan hearing test. Pemberian vitamin K2 dalam bentuk sirup juga dilakukan di RS, kemudian dilanjutkan di rumah.

Menjelang hari kepulangan, saya mendapatkan menu makan malam khusus (celebratory dinner). Beberapa RS dan klinik ibu-anak di Jepang menyajikan menu khusus ini sebagai bentuk ucapan selamat dan apresiasi kepada para Ibu yang baru saja melahirkan.

Selain itu, saya juga diminta untuk mengisi kuesioner singkat (dalam bahasa Inggris) berkaitan dengan kondisi mental pasca melahirkan. Bidan yang mendampingi proses kelahiran sempat mengajak saya berdiskusi karena ada jawaban saya di salah satu pertanyaan yang mungkin punya indikasi tertentu bagi pihak RS.

Bagi saya, rasanya sulit untuk memberikan jawaban yang jelas mengenai perasaan pasca lahiran. Rasanya campur aduk — ada senang, khawatir — ditambah lagi dengan mood yang kurang stabil dan tuntutan untuk segera beradaptasi dengan rutinitas yang baru. Intinya saya sampaikan ke bidan tersebut, bahwa saya merasa baik-baik saja — ada perasaan takut atau khawatir karena ini pengalaman pertama, namun saya akan coba lakukan yang terbaik yang saya bisa.

Mengurus administrasi di city hall dan pemeriksaan kesehatan lanjutan

Setelah mendapatkan surat keterangan lahir dari RS, saatnya untuk segera melakukan pelaporan ke city hall. Batas waktu pelaporan yang diberikan adalah maksimal 2 minggu. Dari hasil pelaporan tersebut, saya mendapatkan dokumen sertifikat kelahiran, untuk selanjutnya menjadi salah satu syarat membuat residence card untuk anak dan pengurusan dokumen kelahiran di KBRI, termasuk nantinya untuk pembuatan akta lahir dan pembaruan kartu keluarga di Indonesia.

Pengalaman mengurus administrasi terkait kelahiran ini saya bagikan di post berikutnya, ya. 🙂

Kembali ke kota tua Kyoto

Sudah lama sekali gak menulis di sini. Selain karena pandemi Corona — yang membuat banyak orang harus tinggal di rumah masing-masing dan menghindari travelling, dua-tiga tahun terakhir menjadi tahun yang cukup padat buat saya. Pekerjaan, pernikahan, dan rencana pindahan ke Tokyo bisa dibilang menyurutkan niat dan waktu untuk membarui postingan blog (Maafkan ya….).

Singkat cerita, rencana pernikahan yang awalnya di 2020, harus tertunda hingga Juli 2021 karena pandemi. Sempat terpapar Corona dua kali — di angkatan Delta dan Omicron. Menerima tanggung jawab baru di pekerjaan, hingga akhirnya pindah domisili ke Tokyo, Jepang di akhir April 2022.

Dua minggu setelah tiba di Tokyo, saya pergi berlibur dengan suami dan beberapa teman. Kebetulan saat itu sedang masa liburan Golden Week. Ini adalah kali kedua saya ke Kyoto — pertama kali mengunjungi kota ini pada musim gugur tahun 2017. Bedanya kali ini, saya berangkat dari Tokyo menggunakan night bus. Perjalanan darat melalui jalur tol membutuhkan waktu sekitar 6 jam. Bus malam ini bisa jadi alternatif yang ekonomis ketimbang naik shinkansen. Selama perjalanan, bus juga berhenti di rest area setiap 2 jam sekali, Jangan khawatir — rest area di Jepang tertata dengan baik. Fasilitas rest area sangat lengkap — mulai dari shower room, restoran, hingga toko jajanan.

Selama perjalanan 3 hari 2 malam, saya mengunjungi beberapa tempat wisata ikonik di Kyoto. Semoga bisa menjadi referensi untuk teman-teman yang sedang merencanakan kunjungan ke kota ini, ya!

Kiyomizu-Dera Temple

Kiyomizu-dera terletak di Gunung Otowa, yang merupakan salah satu puncak dari rangkaian pegunungan Higashiyama di Kyoto. “Kiyomizu” dalam bahasa Jepang memiliki arti “pure water” (“air yang jernih”) — terinspirasi dari air terjun Otowa. Salah satu keunikan Kiyomizu-dera adalah terdapat tiga aliran mata air yang melambangkan kesehatan, kemakmuran, dan rejeki. Kepercayaan lokal menyebutkan dengan membasuh diri atau meminum salah satu mata air ini, seseorang dapat memperoleh kebaikan dalam hidupnya.

Berkat lansekap alam yang indah, Kiyomizu-dera tetap menawan dikunjungi di segala musim. Sejak didirikan, kuil ini telah mengalami beberapa kali kerusakan karena api. Bangunan yang saat ini masih kokoh berdiri merupakan hasil rekonstruksi terakhir pada tahun 1633. Kiyomizu-dera juga telah masuk dalam daftar UNESCO World Cultural Heritage pada tahun 1944 sebagai salah satu Monumen Bersejarah di kota tua Kyoto.

Informasi mengenai sejarah, atraksi dan akses menuju Kiyomizu-Dera Temple, dapat dilihat pada situs web ini, ya.

Ninenzaka Yasaka Street

Dalam perjalanan menuju Kiyomizu-dera, saya melewati salah satu area yang cukup populer di kalangan wisatawan — Ninenzaka street. Bangunan-bangunan antik khas Kyoto yang kini menjadi toko suvenir dan penganan ringan menyambut pengunjung yang datang. Starbucks di Ninenzaka street — menjadi salah satu tempat yang ramai wisatawan karena merupakan satu-satunya cabang Starbucks di Jepang yang memiliki area tatami.

Hirobun Nagashi Soumen

“Nagashi” dalam bahasa Jepang berarti “mengalir”, dan “soumen” merupakan salah satu jenis mi di Jepang. Soumen biasanya lebih tipis dibandingkan ramen pada umumnya (kalau di Indonesia mungkin seperti sohun, hehe). Hirobun tidak hanya menyajikan soumen, tetapi pengalaman menikmati soumen yang unik, hingga membuat tempat ini sangat populer. Dalam durasi 10-15 menit, staff restoran akan menaruh seporsi kecil soumen di batang bambu dengan air mengalir, kemudian pengunjung harus menangkap soumen tersebut dengan sumpit.

Soumen yang mengalir berwarna putih — jika soumen berwarna pink seperti ini sudah muncul, artinya sesi makan telah selesai.

Informasi tentang akses dan menu yang disajikan Hirobun, dapat dilihat di sini.

Kichi-Kichi Omurice

Omurice — yang artinya omelette rice, merupakan menu makanan khas Jepang yang menyajikan nasi goreng dengan topping telur dadar dan saus tomat. Omurice sebenarnya sangat sederhana — namun cara membuat topping telur omelette-nya yang menjadikan makanan ini populer.

Berawal dari video yang viral di media sosial ketika memasak omurice, saya berkesempatan mengunjungi Kichi-Kichi Omurice di Kyoto. Chef Motokichi Yukimura menjadi terkenal berkat aksinya yang unik dan jenaka ketika memasak omurice. Restorannya cukup kecil — sehingga diperlukan reservasi untuk bisa makan di tempat.

Simak aksi chef Motokichi di akun Instagram @kichikichi_omurice.

Nishiki Market

Pasar Nishiki memiliki 130 toko yang terletak di jalur sempit sepanjang 400 meter. Layaknya pasar, di sini pengunjung dapat menikmati beragam makanan khas Kyoto dan juga suvenir lokal.

Selain lima tempat di atas, saya juga mampir ke beberapa tempat lain — saya rangkum dalam kumpulan foto-foto berikut, ya!

Slide #1: Yamamoto Cafe (front door)

Slide #2: Butter toast (Yamamoto Cafe)

Slide #3: Kanno Coffee Kyoto

Slide #4: Tamago-sando

Slide #5: Sobanomi Yoshimura, Kyoto

Slide #6: Warabi mochi + kakigori (Kiyomizu-dera)

Slide #7: Kyoto International Manga Museum

Slide #8: Gion district

Slide #9: Kyoto Tower (Kyoto Station)

Slide #10: PSA (Hahaha!)

Liburan Musim Dingin di Sapporo: Mount Moiwa

Saat berlibur ke Sapporo, atraksi wisata alam ini tidak boleh terlewatkan: Mount Moiwa! Gunung ini bisa dibilang berlokasi di pusat kota Sapporo dan memiliki ketinggian sekitar 531 meter – sangat pas bagi yang ingin trekking, hiking, atau sekedar menikmati lansekap kota Sapporo. Mount Moiwa juga memperoleh predikat sebagai salah satu spot pemandangan malam terbaik di Hokkaido, bersanding dengan Gunung Hakodate dan Gunung Tengu di Otaru.

Pengunjung biasanya datang ke Mount Moiwa baik saat musim panas, ataupun musim dingin. Kali ini, saya berkesempatan untuk bertandang ke Mount Moiwa di musim dingin, dan tepatnya saat malam hari! Kebayang gak sih, betapa dingin suhu udaranya, apalagi jika berangin! Tetapi, ketika sampai di puncak Moiwa, semuanya terbayar dengan kelap-kelip pemandangan kota Sapporo yang menakjubkan.

Bagaimana cara pergi ke Mount Moiwa?

Sambil membaca artikel dari matcha-jp.com, saya berusaha mengingat kembali perjalanan saya ke Mount Moiwa. Dari akomodasi tempat menginap, saya berjalan ke Taman Odori untuk naik kereta trem menuju Stasiun (atau mungkin halte?) Ropeway Iriguchi. Mengapa ropeway? Ya – karena saya harus menggunakan ropeway dan cable car agar bisa mengakses puncak gunung Moiwa.

Turun dari trem, saya menunggu shuttle bus gratis yang akan membawa saya ke Stasiun Sanroku – akses utama ke gardu pandang Mount Moiwa. Bus ini tersedia setiap 15 menit sekali, dan hanya membutuhkan sekitar 5 menit perjalanan. Opsi lainnya adalah berjalan kaki sekitar 10 menit, tapi saya sih gak mau jika harus berjalan kaki malam-malam, di tengah beku-nya suhu udara di Sapporo.

Ketika tiba di Sanroku, saya membeli tiket pulang-pergi untuk ropeway dan cable car. Harga tiketnya adalah 1.700 Yen untuk dewasa, dan 850 Yen untuk anak-anak. Ropeway dan cable car ini berangkat setiap 15 menit sekali. Saat berada di ropeway, pemandangannya…luar biasa! Meski malam hari, kota Sapporo menyuguhi saya dengan hamparan kota yang indah dan berwarna-warni.

Di gardu pandang Mount Moiwa, lansekap kota Sapporo membentang begitu indah, ditambah dengan cahaya lampu yang sangat cantik. Selain itu, ada sebuah spot yang kerap menarik perhatian turis, yakni sebuah lonceng dan padlocks. Konon katanya, jika pasangan membunyikan lonceng ini bersama-sama, maka mereka akan bahagia selamanya. Menarik, ya. Waktu itu saya ingin sih, melihat lonceng ini lebih dekat (mungkin ingin juga membunyikannya bersama – uhuk – pasangan), tetapi ada beberapa keluarga dan anak kecil yang bermain di situ dan situasinya cukup ramai, hahaha. Niat itu pun saya batalkan.

Nah, jika Anda ingin pergi ke Mount Moiwa saat musim dingin, hal ini PENTING untuk diingat: cek kondisi cuaca dan operasional ropeway/cable car. Saat cuaca buruk, keduanya akan berhenti beroperasi. Jangan sampai Anda kecewa ya, karena tidak bisa naik ke gardu pandang. Perhatikan juga pakaian yang Anda kenakan. Angin berhembus kencang saat musim dingin – tangan dan kaki rasanya seperti beku dan sulit digerakkan. Pakailah jaket yang tebal, dan sarung tangan jika perlu.

Oh ya, selain gardu pandang, Mount Moiwa juga memiliki fasilitas serupa planetarium – tanpa biaya masuk, tetapi ada jadwalnya ya. Di dalam studio mini tersebut, Anda dapat menikmati suasana dari efek visual yang menampilkan galaksi dan bintang. Romantis banget! Dalam perjalanan keluar gardu pandang, Anda juga akan menemukan toko suvenir yang menyajikan beragam camilan dan merchandise khusus Mount Moiwa.

Kunjungi juga situs resmi Mount Moiwa untuk informasi terbaru sebelum merencanakan agenda liburan ya!

ps: bonus foto di atas bukan dari Mount Moiwa – hanya pemandangan sungai yang bersalju dekat hotel, hehehe.

#SapporoSeries

Liburan Musim Dingin di Sapporo: Kanal Otaru

Dari pusat kota Sapporo, mari melipir sejenak ke kota kecil yang berdekatan dengan laut: Otaru. Kota ini dulunya merupakan kota pelabuhan yang menjadi pusat perdagangan hasil bumi dan rempah. Salah satu tourist spot yang sangat terkenal adalah Kanal Otaru. Kanal ini selesai dibangun pada tahun 1923 dengan panjang mencapai 1.140 meter. Di sisi kiri dan kanan kanal ini terdapat deretan bangunan seperti gudang penyimpanan. Kini, bangunan tersebut telah dipugar dan dialihfungsikan menjadi restoran dan area pertokoan. Kanal ini menjadi sangat istimewa saat musim dingin berkat festival Snow Light Path.

Bagaimana cara pergi ke Otaru?

Dari stasiun Sapporo, gunakan jalur kereta JR Hakodate Line. Bagi kamu yang memiliki JR Pass, cukup tunjukkan pass-mu dan kamu bisa menaiki kereta tanpa biaya tambahan lagi. Perjalanan kereta dari Sapporo ke Otaru memakan waktu sekitar 45 menit.

Bagi saya, perjalanan menuju Otaru ini sangat berkesan. Selama perjalanan, saya disuguhi pemandangan laut yang cantik – meski agak was-was karena kala itu ombak cukup tinggi dan besar. Ditambah lagi dengan hujan salju yang turun sejak pagi hari – dan prakiraan cuaca yang menyebutkan bahwa ada potensi badai salju. Hal seperti ini harus menjadi perhatian kita sebagai turis, loh, karena apabila kita abai, bisa-bisa terjebak badai. Kereta pun akan berhenti beroperasi – jangan sampai kita tak bisa kembali, ya.

Setibanya di stasiun Otaru, saya berjalan kaki sekitar 5-10 menit untuk mencapai Kanal Otaru. Meski dekat, tetapi karena hujan salju yang belum mereda, saya harus berjalan pelan agar tidak terpeleset salju – selain karena udara yang super dingin juga, sih. Sempat mampir ke KFC untuk makan siang, hahaha (dan menghangatkan diri).

Suasana di Kanal Otaru saat musim dingin

Setibanya di sini, saya melihat banyak turis yang bergantian mengambil foto di ujung kanal ini (mohon maaf, foto turis lainnya tidak masuk di frame ini, haha). Sepertinya ada yang dari Indonesia juga seperti saya, hehe. Saat musim dingin, tidak banyak aktivitas yang bisa dilakukan di area ini – hanya berfoto, makan, atau berbelanja di toko-toko sepanjang kanal. Mungkin saat musim semi atau musim panas, Kanal Otaru membuka jasa cruise bagi turis yang ingin menaiki perahu untuk menyusuri kanal.

Tidak mudah mengambil foto saat bersalju seperti ini. Selain dingin, salju sebenarnya basah – sama saja seperti hujan. Terkadang kita juga harus melepaskan sarung tangan agar bisa menekan tombol kamera pada ponsel atau tombol shutter. Nah, tips dari saya adalah gunakan sarung tangan dengan desain khusus yang membuat kamu tetap bisa menekan layar ponsel tanpa harus melepaskannya.

Kanal Otaru berselimutkan salju tebal
Bahkan butiran salju pun terlihat jelas!

Karena khawatir akan ada badai salju, daripada nantinya gak bisa kembali ke Sapporo, saya tidak melanjutkan eksplorasi lebih jauh di area Otaru ini. Jika kamu ingin berkunjung ke Otaru, kamu juga wajib melihat museum Otaru Music Box, dan mencicipi aneka seafood segar.

Oh ya, tips singkat saat berlibur di musim dingin: gunakan sepatu atau alas kaki yang khusus untuk medan bersalju. Pakai juga kaus kaki tebal ya. Kamu tentunya gak mau ‘kan, kaki atau jari-jari kaki terasa beku atau sulit digerakkan.

Dari Otaru, enaknya kemana lagi ya? jalan-jalan di pusat kota atau justru melihat pemandangan kota di malam hari dari pegunungan? Nantikan cerita selanjutnya di #SapporoSeries!

Liburan Musim Dingin di Sapporo: Ishiya Chocolate Factory & Shiroi Koibito Park

Setelah dua tahun absen mengisi blog ini, akhirnya mulai punya semangat lagi untuk kembali!

Terakhir saya jalan-jalan itu akhir Desember 2018 hingga awal Januari 2019 – mengisi liburan Natal dan Tahun baru ke Jepang. Berencana untuk kembali ke Jepang di April 2020, tetapi pandemi (lagi-lagi, bosan juga rasanya mendengar istilah ini) memaksa saya untuk membatalkan tiket penerbangan dan rencana perjalanan. Gak rela sih sudah pasti, namun tidak ada jalan lain selain ikhlas dan pasrah, hahaha.

Pada postingan kali ini, saya ingin melunasi ‘hutang’ cerita tentang liburan musim dingin ke Sapporo (dan Tokyo). Bicara soal Sapporo – saya baca di beberapa situs berita bahwa situasi pandemi mengalami eskalasi di kota tersebut – karena cuaca yang lebih dingin dari kota-kota lainnya di Jepang. Jika kamu berencana ke Sapporo, semoga bisa terwujud di tahun depan ya! (saya pun ingin kembali kesana, hehehe)

26 Desember 2018 – penerbangan saya dimulai dari Jakarta, dengan Garuda Indonesia. Transit di Denpasar sekitar 3,5 jam dan kembali mengudara sekitar tengah malam WITA, menuju Narita. Setibanya di Narita, saya kembali bersiap untuk melanjutkan penerbangan domestik ke Chitose (bandara di kota Sapporo) dengan Vanilla Air (subsidiaries dari All Nippon Airways/ ANA yang melayani rute penerbangan domestik Jepang). Ketika mendarat di Narita, saya menyempatkan diri untuk berganti pakaian berlapis dan makan siang.

Karena letak geografisnya, suhu di Sapporo saat musim dingin sangat rendah dan memiliki potensi hujan salju yang cukup sering atau bahkan badai salju (destinasi ini sangat pas untuk kamu yang ingin melihat salju). Siapkan pakaian musim dingin yang cukup – termasuk kaus kaki dan sarung tangan jika diperlukan.

Setibanya di Sapporo, hari sudah sore menjelang malam. Saya hanya sempat jalan-jalan di sekitar Sapporo Station dan menikmati makan malam di sana. Seingat saya, ada tempat seperti pusat perbelanjaan dengan banyak toko dan restoran. Malam itu juga saya pertama kali melihat rintik hujan salju, hahaha (maaf, norak). Terbayar sudah keinginan saya untuk menikmati salju di liburan musim dingin ini.

Esok paginya, tempat wisata yang pertama saya kunjungi adalah Ishiya Chocolate Factory dan Shiroi Koibito Park – salah satu tourist spot yang wajib kamu kunjungi ketika bertandang ke Sapporo.

Ishiya Chocolate Factory didirikan oleh Isao Ishimizu, sebagai produsen cokelat dan penganan manis yang bernama Shiroi Koibito. Nama ini juga yang menjadi nama theme park mini yang dibangun dengan gaya dan nuansa Inggris. Mengutip dari Ohayo Jepang di Kompas.com, karena adanya peningkatan jumlah pengunjung, tempat ini pun berubah nama menjadi Shiroi Koibito Park dan mengalami beberapa kali renovasi area dan fasilitas.

Di tempat ini, pengunjung bisa melihat proses pembuatan cokelat, menikmati langsung produk akhir dan olahan cokelat, berbelanja beragam jenis cokelat (yang ini pasti paling disukai, nih) hingga menikmati suasana yang menyenangkan di taman Shiroi Koibito. Ketika saya berkunjung ke sana, saya hanya melihat taman yang kala itu bertemakan Natal dan melihat toko cokelatnya. Interiornya sangat unik dan suasana vintage-nya terasa sekali (saya tidak mengambil foto dalam toko karena sepertinya tidak diperbolehkan). Sayangnya juga, saya belum berkesempatan ikut tur pabrik cokelatnya karena masih dalam proses renovasi kala itu.

Area pintu masuk Shiroi Koibito Park
Suasana taman Shiroi Koibito yang berbalut salju tebal

Selain itu, saya juga mencicipi minuman cokelat panas dan es krim dengan bahan-bahan yang diproduksi oleh Ishiya Factory ini. Tentunya saya juga berbelanja beberapa penganan dan snack cokelat untuk oleh-oleh.

Oh ya, jika kamu tertarik untuk mengikuti tur di pabrik, melihat museum, dan mencicipi cokelatnya, simak dulu tarif yang tersedia untuk dewasa dan anak-anak di situs ini ya.

Setelah Ishiya Chocolate Factory, selanjutnya saya akan berbagi cerita tentang tourist spot di Sapporo yang juga wajib masuk dalam rencana perjalanan kamu: Otaru Canal.

Nantikan segera ya!

#SapporoSeries

Cara Mudah Buat E-Paspor

Agustus lalu saya menyempatkan diri untuk mengurus pembaharuan paspor menjadi e-paspor. Alasannya sederhana sih, supaya bisa pergi ke Jepang tanpa harus mengajukan aplikasi visa. Harga visa Jepang kini juga mengalami kenaikan sejak Kedubes Jepang bermitra dengan VFS untuk proses penerbitan visa. Saya pikir, daripada harus mengurus persyaratan dokumen visa yang ribet dan kadang membingungkan, maka lebih baik saya investasi materi dan tenaga untuk ganti ke e-paspor dan registrasi waiver bebas visa di Kedubes Jepang (gratis loh! Nanti saya bahas ya).

Sebelum saya bagikan tiga langkah mudah untuk memperoleh e-paspor, ada sedikit disclaimer untuk cerita ini: saya sudah memiliki paspor biasa dan masih dalam masa berlaku (hingga 2020). Hal ini (mungkin) akan membedakan dengan pendaftar lain yang pertama kali registrasi e-paspor maupun yang paspor lamanya hilang.

 

Langkah 1 : Unduh aplikasi ‘Antrian Paspor’ dan Buat Akun Baru

Hingga blog ini dibuat, aplikasi yang dikeluarkan oleh Direktorat Jenderal Imigrasi – Kemenkumham RI ini, hanya tersedia untuk sistem operasi Android (soalnya susah develop untuk iOS, hahaha). Aplikasi ini berfungsi untuk melakukan pendaftaran nomor antrian aplikasi paspor (iya, bisa untuk paspor dan e-paspor).

Setelah diunduh, pilih menu ‘Masuk’ untuk membuat akun. Untuk mengetahui persyaratan dokumen yang harus disiapkan, pilih menu ‘Persyaratan’.

e-paspor blog 1
Tampilan awal aplikasi ‘Antrian Paspor’

Setelah membuat akun, pilihlah lokasi kantor imigrasi yang sesuai dengan preferensi. Ketika itu saya memilih Kanim Jakarta Utara (dekat Mall Artha Gading), karena dekat dengan lokasi kantor, sehingga lebih mudah untuk mobilitasnya.

e-paspor blog 2
Pilihan Kantor Imigrasi dari Aceh hingga Papua

Sudah menentukan lokasi? Nah, berikutnya ini yang penting – tanggal dan jam kedatangan di kantor imigrasi yang telah dipilih. Karena kuota pendaftar harian yang terbatas, saran saya, agar mendaftar antrian paspor paling lambat seminggu sebelum tanggal kedatangan yang kita inginkan. Sepertinya setiap kantor imigrasi memiliki kuota yang berbeda. Namun jangan khawatir, info soal kuota ini dapat dilihat langsung di aplikasi, atau pantau dan cek updatenya di akun Twitter Kanim yang bersangkutan.

e-paspor blog 3
Menu untuk memilih tanggal dan jam antrian

Konfirmasi untuk Kanim yang dipilih, tanggal, dan jam kedatangan akan tersedia juga di dalam aplikasi dan juga dibuat dalam bentuk file PDF. Jangan lupa untuk datang pada hari dan jam yang telah dipilih, mengingat kuota pendaftar yang cepat terisi. Jika batal hadir pada hari dan jam tersebut, maka kamu harus daftar ulang. Advance prep is a must. 🙂

 

Langkah 2: Siapkan Dokumen Wajib untuk Aplikasi Paspor

Untuk case saya, maupun yang paspor kadaluarsa, hanya ada dua dokumen yang perlu dibawa: PASPOR LAMA (asli dan copy halaman depan paspor) dan E-KTP (asli dan copy). Sedangkan untuk pembuatan paspor baru (baik paspor biasa atau e-paspor), dokumen yang dibutuhkan adalah:

  • KTP yang masih berlaku atau surat keterangan pindah ke luar negeri
  • Kartu keluarga
  • Akta Lahir, Akta Perkawinan atau Buku Nikah, Ijazah, atau Surat Baptis
  • Surat Pewarganegaraan Indonesia bagi Orang Asing yang memperoleh kewarganegaraan Indonesia melalui pewarganegaraan
  • Surat Penetapan Ganti Nama, bagi yang telah ganti nama
  • Surat Rekomendasi permohonan paspor dari Dinas Tenaga Kerja Provinsi atau Kabupaten/Kota bagi calon TKI
  • KTP Ayah atau Ibu, atau surat keterangan pindah ke LN, dan Akta Perkawinan bagi anak WNI
  • Surat Rekomendasi dari Kementerian Agama Kabupaten/Kota dan Surat Keterangan PPIH/PPIU bagi peserta ibadah Haji/Umrah
  • Surat Keterangan Laporan Kehilangan dari Kepolisian bagi yang paspornya hilang dan akan melakukan penggantian paspor

Sudah siap dengan jadwal antrian dan dokumen? Datanglah ke kantor imigrasi yang kamu pilih. Kamu akan disambut oleh petugas yang akan memberikan satu form identitas diri yang harus diisi dan di-submit bersama dengan dokumen lainnya. Saya tidak tahu kalau di Kanim lain, tapi di Kanim Jakarta Utara, form tersebut wajib diisi dengan pulpen warna HITAM.

Selesai mengisi form, saya menunggu petugas untuk memanggil para pendaftar kuota jam 1-2 siang untuk mengambil nomor antrian pengumpulan dokumen. Siang itu Kanim Jakut sangat ramai dengan para ibu dan anak-anak balita. Rasanya seperti berada di Poli Anak, hahaha. Petugas dokumen disana sudah hafal rupanya dengan pendaftar seperti saya – yang paspornya masih berlaku, tapi mau upgrade, hehehe.

Setelah pengecekan dokumen, saya mengambil nomor antrian untuk foto. Ketika sudah diambil foto, petugas akan memberikan tanda bukti untuk pembayaran (transfer bank) dan pengambilan paspor.  Biaya pembuatan e-paspor adalah Rp 655,000, dan membutuhkan sekitar 3 hari kerja terhitung sejak pembayaran dilakukan.

 

Langkah 3: Lakukan Pembayaran dan Ambil Paspor /E-Paspor di Kantor Imigrasi

Lakukan pembayaran melalui transfer bank segera setelah mendaftar e-paspor, sehingga e-paspor dapat segera diproses. Jangan lupa untuk cetak bukti pembayarannya ya.

Untuk pengambilan paspor/e-paspor, mudah dan cepat kok. Tanpa perlu daftar, langsung saja datang ke Kanim tempat kamu mendaftar, dan taruh tanda bukti pengambilan dan bukti pembayaran di loket pengambilan. Tunggu namamu dipanggil petugas loket dan voila! Paspor/E-Paspor baru sudah di tangan. 🙂

Secara fisik, yang membedakan hanyalah e-paspor memiliki chip di dalam buku paspornya. Secara tampilan sih sama saja dengan paspor biasa. Selain itu, katanya, ada jalur antrian khusus di bandara tertentu bagi pemegang e-paspor.

Oh, dan menurut salah seorang kawan yang bekerja di Kemenkumham, pemasukan dari biaya e-paspor ini sebenarnya bagus untuk mendongkrak angka PNBP atau Penerimaan Negara Bukan Pajak. (tapi bayar pajak tetap perlu ya, hehe).

Semoga bermanfaat!

*

(Hampir) Chevening : Sesi Wawancara

Tadinya saya tidak berniat untuk menulis kelanjutan dari post sebelum ini, hahaha. Tetapi daripada gantung, saya sampaikan secara singkat saja ya.

Kembali ke bulan April lalu, saya mengikuti tes wawancara dengan tiga orang panelis di Kedutaan Besar Inggris, di Kuningan, Jakarta. My heart is literally racing, karena ini kali pertama saya mengikuti seleksi wawancara untuk beasiswa. Oh ya, tiga orang panelis tersebut adalah perwakilan dari universitas, koordinator beasiswa, dan seorang alumni.

Selama 30 menit, saya berusaha memaparkan pemikiran dan keinginan yang saya tuangkan sebelumnya dalam bentuk esai. Dari percakapan itulah saya baru memahami sosok kandidat seperti apa yang dicari oleh Chevening. Memiliki visi dan rencana yang realistis adalah salah syarat utama yang harus dimiliki jika kamu ingin memperbesar kemungkinan untuk lolos seleksi. Selain visi yang realistis, visi tersebut juga harus spesifik dan dapat diaplikasikan. Sederhananya, kamu harus paham betul, kamu mau ngapain dan mau jadi apa setelah kembali ke negara asal. In addition to that, maka kandidat juga harus dapat menyampaikan ingin belajar apa di negara/universitas tujuan dan alasan yang konkrit kenapa ingin belajar ilmu tersebut. Di awal wawancara, saya juga ditanyai sih seputar kenapa memilih Chevening dan kenapa ingin belajar di Inggris (regardless post-grad disana yang hanya 1 tahun ya). They would like to hear strong and fundamental answer from your end.

Selain memaparkan kembali soal visi dan ilmu yang ingin dipelajari, kandidat juga harus memiliki pengetahuan yang memadai tentang negara atau kota yang dituju. Para panelis akan bertanya tentang hal yang ingin kamu lakukan, selain belajar, setibanya kamu di Inggris atau di kota tujuanmu. Misal, selain belajar, kamu ingin mengunjungi tempat tertentu karena kamu sudah lama mengagumi seseorang yang terkenal, seperti ilmuwan, seniman, atau bahkan pemain sepakbola. Artinya, kandidat wajib datang dengan rencana yang komprehensif selama setahun tinggal di UK. Mereka juga ingin dengar apa hobi dan kesukaanmu, apa yang kamu sukai dari UK, termasuk budaya dan hal-hal unik lainnya.

Berhubung waktu dan kuota beasiswa yang terbatas, maka sangat disarankan untuk memaparkan ide dan visimu secara singkat dan jelas, supaya tim panelis dapat langsung memahami apa yang kalian sampaikan. Selain itu, kandidat harus menciptakan kesan pertama yang baik dan menarik bagi para panelis – tidak hanya bahasa tubuh, tapi juga cara kita berbicara.

Jujur sih, melihat background beberapa orang yang saya kenal, yang menerima beasiswa ini, saya langsung agak kecil hati. Ya karena memang sebagian besar dari mereka, either berkarir di bidang social-related/govt-related dan media massa, atau datang dari perusahaan yang komersil namun memang punya ability untuk mengartikulasikan prestasi dan kemampuan mereka.

Saya belajar banyak dari seleksi Chevening ini. Banyak hal yang perlu saya evaluasi, jika ingin mengikuti kompetisi ini. Semoga insight singkat ini bermanfaat bagi kawan-kawan yang akan menempuh Chevening.

*

(Hampir) Chevening: Persiapan Pendaftaran

Disclaimer: Ini bukan kisah sukses saya dalam mendapatkan program beasiswa yang (sangat) saya inginkan. Tetapi semoga tulisan ini bermanfaat bagi mereka yang membutuhkan dukungan untuk mewujudkan visi dan cita-cita yang mulia. 🙂

*

The idea to join this program came in 2016. Pertama kali saya mendengar Chevening adalah dari salah satu atasan di kantor, sewaktu masih bekerja di sebuah communication firm. Sebagai informasi, Chevening Awards merupakan beasiswa yang didanai secara penuh oleh pemerintah Inggris, untuk seluruh program studi dan universitas manapun di UK ( yang tentunya bermitra dengan Chevening).

Di tahun itu pula saya genap dua tahun bekerja–sudah bisa sih untuk daftar, karena Chevening mensyaratkan kandidatnya untuk memiliki pengalaman profesional selama minimal 2 tahun. Bukan bermaksud untuk banyak beralasan — tapi entah saat itu saya belum memantapkan diri untuk mendaftar.

Memasuki tahun 2017, dan saat itu pula saya memutuskan untuk pindah ke perusahaan lain, barulah saya memikirkan kembali keinginan untuk daftar Chevening. Meski saya sudah membayangkan betapa menyenangkannya bisa sekolah lagi, dan fully-funded pula, saya memulai serangkaian proses ini tanpa mengharapkan apapun (supaya kalau gak berhasil, gak kecewa banget, haha).

1. Pendaftaran

Setiap tahunnya, Chevening membuka pendaftaran dari bulan Agustus hingga November. Tahun 2017, Chevening Awards untuk tahun ajaran 2018/2019 secara resmi dibuka tanggal 7 Agustus hingga 7 November. Seluruh proses pendaftaran dilakukan secara online — ini yang saya suka juga sih, gak ribet. Selain membuat akun pribadi di website Chevening dan melengkapi data pribadi, inilah saatnya kamu mengumpulkan seluruh dokumen yang diminta, seperti:

  • Ijazah S1 (karena ketika itu saya apply untuk program Master)
  • Transkrip nilai
  • Paspor (yang masih berlaku ya)
  • CV (pastikan sudah berisikan informasi terkini)
  • Dua reference letter dalam bahasa Inggris, ditujukan ke British Embassy di Jakarta, dan dibuat tanpa kop surat.
  • Hasil tes IELTS/TOEFL. Saya sarankan untuk mengambil tes IELTS (Academic) saja karena kebanyakan dari universitas di UK menggunakan hasil tes IELTS.
  • Letter of Acceptance (LoA) dari universitas. Surat ini sifatnya bisa conditional maupun unconditional.

Di Chevening, hasil tes IELTS dan LoA bisa menyusul, tidak harus available ketika baru mendaftar online. Tapi in parallel harus disiapkan, jaga-jaga aja siapa tahu kamu berhasil shortlisted ke tahapan berikutnya 🙂

2. Menentukan universitas pilihan

Selain dokumen tersebut, pekerjaan selanjutnya adalah menentukan pilihan universitas beserta program studinya. Butuh waktu untuk memahami apa yang ingin kamu capai dan universitas mana yang mampu memenuhi rasa hausmu terhadap ilmu yang baru. Chevening memberikan 2 syarat sebelum kamu memilih : mendaftarkan 3 program studi yang berbeda dari 1 universitas yang sama, atau, mendaftarkan 3 universitas yang berbeda tapi dengan program studi yang sama. Honestly, I found it a bit confusing with the second statement. Saya pikir ‘sama’ itu artinya harus persis benar nama program studi/jurusannya, tapi ternyata bukan, maksudnya itu similar atau satu jurusan gitu.

S1 saya adalah Ilmu Komunikasi/Public Relations. Sebelum kuliah, saya belajar di sebuah SMK Pariwisata. Ketika sedang mencari-cari universitas, saya menemukan sebuah uni di Skotlandia yang menawarkan kelas opsional tentang ‘Strategic PR and Tourism’. Saya langsung excited, rasanya saya belum pernah menemukan program studi yang mengawinkan dua keilmuan ini. Saya memang punya keinginan untuk bisa menerapkan PR sebagai salah satu media komunikasi bagi industri pariwisata di Indonesia, yang saat ini tengah menjadi salah satu sorotan pemerintah untuk dikembangkan. Ya memang sih, pekerjaan saya saat ini tidak di industri tersebut –karena mungkin belum ketemu jalan kesana, haha.

Anyway, saya langsung mendaftarkan University of Stirling, Scotland di urutan pertama, dengan nama program Master of Strategic Public Relations and Communications Management (MSc). Menyusul pada urutan kedua adalah University of Westminster, London (MA Public Relations), dan posisi ketiga adalah University of Cardiff (MA International PR and Global Communications Management).

Banyak faktor yang kamu harus pertimbangkan sebelum memilih universitas. Lokasi, program studi yang ditawarkan, reputasi atau peringkat universitasnya, alumninya, hingga persyaratan yang harus dipenuhi.

3. Menulis ESSAY! (dalam Bahasa Inggris ya..)

Nah, ini dia bagian yang paling krusial dalam tahap awal pendaftaran Chevening: membuat ESSAY! 🙂 Ada empat topik yang harus diulas, dan setiap topik mensyaratkan 500 kata. Cukup menantang karena saya harus mengartikulasikan ide dan cita-cita saya secara singkat namun cukup jelas dan realistis untuk dipahami. Esai ini sebenarnya seperti sarana untuk ‘jual diri’. Inilah medium awal bagi para kandidat untuk menunjukkan bahwa mereka memiliki ambisi yang kuat, mampu menjadi pemimpin (yang bepengaruh), dan tahu betul mereka ingin menjadi apa atau melakukan apa saat pulang ke Tanah Air. Selain itu, di dalam tulisan ini, saya juga harus meyakinkan pihak Chevening apa yang menjadi alasan saya ingin kuliah di UK.

Saat menulis esai, pastikan kamu melakukan riset tentang data-data eksternal yang dapat memperkuat tulisan tersebut. Tidak perlu detail, cukup lakukan desktop research saja di internet. Tetapi kalau kamu mau menyampaikan data yang detail, gak masalah juga sih, hehe. Tujuannya adalah membawa ide dan visi yang biasanya mengawang-ngawang itu menjadi lebih relevan, dan juga menunjukkan kepada pihak Chevening bahwa visi kamu itu mampu menjawab tantangan atau permasalahan di Tanah Air.

Paparkan tulisanmu secara terstruktur dan koheren, alias ada kesinambungan antar paragraf dan juga antar 4 empat topik tersebut. Mintalah bantuan kepada orang lain yang kamu rasa mampu untuk melakukan review dan memberikan input terhadap tulisanmu, baik dari segi tata bahasa, diksi, dan kekayaan konten. Kala itu saya meminta bantuan kepada salah seorang senior di kantor lama yang tengah melanjutkan studi Master di bidang komunikasi di Swedia.

Esai ini juga dikumpulkan secara online melalui website Chevening. Pengalaman saya waktu itu, membuat draft dan finalisasi tulisan di Google Doc, sekaligus melakukan revisi. Setelah benar-benar final, baru saya pindahkan tulisan tersebut ke website.

Apa saja sih topik esainya? Saya tidak bahas disini ya 🙂 silakan registrasi dan kamu bisa melihat langsung topik-topik yang ditanyakan, hehehe.

 

Apalagi ya? Rasanya itu saja untuk tahapan pertama beasiswa Chevening ini. On top of that, carilah informasi sebanyak-banyaknya tentang pengalaman kandidat lain terkait program ini, dan cek juga informasi lengkapnya di http://www.chevening.org/indonesia/

Tahapan selanjutnya adalah jika esai kamu lolos seleksi, kamu akan mendapatkan undangan untuk menghadiri wawancara panel di kedutaan Inggris. Surprisingly, di bulan Februari 2018, saya menerima kabar baik tersebut. Kaget sih, karena saya gak menyangka bahwa diantara ribuan pendaftar dari Indonesia, tulisan saya masih diperhitungkan oleh pihak Chevening.

The 30-minutes interview was an experience that I would love to share with anyone who have interest to apply for the scholarship. 🙂 Ada beberapa hal yang berkesan bagi saya selama wawancara berlangsung.

‘Till next post!

*

 

Okonomiyaki, Makanan Wajib Saat Berkunjung ke Osaka

Liburan musim dingin sudah dimulai. Bagi kawan-kawan yang sudah punya rencana, khususnya ke Jepang (iya, soalnya tulisan kali ini mau ngomongin tentang kuliner di Osaka, hahaha), dan akan berkunjung ke Osaka, kamu wajib mencoba menu makanan ini.

Yes, Okonomiyaki! Sebenarnya penganan yang satu ini dapat ditemukan di seluruh Jepang. Namun, Okonomiyaki sangat populer di Osaka. Katanya sih, Osaka merupakan kota asal dari menu khas Jepang ini, jadi wajib makan di resto Okonomiyaki. Sebelum berangkat, salah satu sahabat saya merekomendasikan Mizuno, restoran Okonomiyaki yang terkenal di kalangan turis. Saya kurang tahu sih apa yang membuat Mizuno begitu istimewa, karena kalau saya lihat di TripAdvisor, konsep restonya sama saja dengan resto Okonomiyaki yang saya pilih.

Oke, jadi gini ceritanya. November lalu saya berangkat ke Jepang untuk kedua kalinya, dan dalam perjalanan kali ini, saya membagi waktu untuk menyambangi Osaka, Kyoto, Nara, dan berakhir di Tokyo. Saya sengaja memilih untuk turun di Haneda, supaya bisa menikmati shinkansen menuju Osaka. Memang harus berkorban budget lebih besar sih, karena saya harus membeli JR Pass seharga 3 juta-an Rupiah dari Indonesia.

Hari pertama mendarat di Osaka, saya mengunjungi area Namba dan Dotonburi untuk mencari tempat makan malam. Awalnya saya mencari resto Mizuno dengan bermodalkan Google Maps. Ketika tiba di lokasi tujuan, saya langsung mengurunkan niat saat melihat antrian yang mengular panjang di depan restoran. Kembali mencari rekomendasi di internet, muncul satu nama resto Okonomiyaki yang rating-nya cukup tinggi di Google. Meski letaknya tidak di jalanan utama Namba, namun Ajinoya ini juga memiliki antrian yang cukup panjang. Sempat ingin beralih ke tempat lain, tetapi pilihan jatuh ke tempat ini. Kami (silakan ditebak sendiri yah saya pergi dengan siapa, hahaha) mengantri sekitar 30-40 menit, dan karena hanya berdua, kami mendapat meja di dekat bar, tepat berhadapan dengan koki resto Okonomiyaki tersebut.

Serunya, kami bisa melihat langsung proses pembuatan Okonomiyaki dan kita bisa langsung menikmatinya dari tempat memasak. Minusnya adalah udara yang panas dan berasap karena berdekatan dengan kompor. Selain Okonomiyaki, kami juga memesan takoyaki, dan ditemani pula dengan dua botol draft beer. 

Ajinoya 1
Can you spot the egg? #salahfokus

Ajinoya 2
Okonomiyaki galore! at Ajinoya

Okonomiyaki ini terdiri dari beberapa jenis bahan yang mayoritas adalah sayuran dan potongan daging ayam, sapi, atau babi. Kemudian adonannya dicampur dengan tepung dan telur, dan langsung dituangkan di atas penggorengan. Kalau di Indonesia, mungkin mirip Fu Yung Hai, hahaha, tapi  lebih tipis dan memang dibuat agak berantakan tampilannya. Okonomiyaki dinikmati dengan saus kecap manis dan taburan bonito flakes. Kebayang ya gurihnya seperti apa…

Karena berbahan dasar telur dan tepung, makan dua porsi saja sudah bikin kenyang. Tentu akan lebih nikmat jika sambil minum bir lokal Jepang, hehe. Kalau kamu tidak minum bir, jangan khawatir – mereka menyediakan air putih dingin, tanpa tambahan biaya alias gratis.

Awalnya kami juga ingin memesan seporsi Yakisoba, karena terlihat sangat menggiurkan, tetapi perut kami berkata lain, hahaha. 

Bagi yang sedang atau akan main ke Osaka, jangan lupa untuk mencicipi Okonomiyaki yah! Ajinoya bisa menjadi salah satu alternatif yang saya rekomendasikan. Selamat mencoba!

***

Ajinoya

1-7-16 Namba, Chuo-ku, Osaka 542-0076, Osaka Prefecture

+81 6-6211-0713