Kembali ke kota tua Kyoto

Sudah lama sekali gak menulis di sini. Selain karena pandemi Corona — yang membuat banyak orang harus tinggal di rumah masing-masing dan menghindari travelling, dua-tiga tahun terakhir menjadi tahun yang cukup padat buat saya. Pekerjaan, pernikahan, dan rencana pindahan ke Tokyo bisa dibilang menyurutkan niat dan waktu untuk membarui postingan blog (Maafkan ya….).

Singkat cerita, rencana pernikahan yang awalnya di 2020, harus tertunda hingga Juli 2021 karena pandemi. Sempat terpapar Corona dua kali — di angkatan Delta dan Omicron. Menerima tanggung jawab baru di pekerjaan, hingga akhirnya pindah domisili ke Tokyo, Jepang di akhir April 2022.

Dua minggu setelah tiba di Tokyo, saya pergi berlibur dengan suami dan beberapa teman. Kebetulan saat itu sedang masa liburan Golden Week. Ini adalah kali kedua saya ke Kyoto — pertama kali mengunjungi kota ini pada musim gugur tahun 2017. Bedanya kali ini, saya berangkat dari Tokyo menggunakan night bus. Perjalanan darat melalui jalur tol membutuhkan waktu sekitar 6 jam. Bus malam ini bisa jadi alternatif yang ekonomis ketimbang naik shinkansen. Selama perjalanan, bus juga berhenti di rest area setiap 2 jam sekali, Jangan khawatir — rest area di Jepang tertata dengan baik. Fasilitas rest area sangat lengkap — mulai dari shower room, restoran, hingga toko jajanan.

Selama perjalanan 3 hari 2 malam, saya mengunjungi beberapa tempat wisata ikonik di Kyoto. Semoga bisa menjadi referensi untuk teman-teman yang sedang merencanakan kunjungan ke kota ini, ya!

Kiyomizu-Dera Temple

Kiyomizu-dera terletak di Gunung Otowa, yang merupakan salah satu puncak dari rangkaian pegunungan Higashiyama di Kyoto. “Kiyomizu” dalam bahasa Jepang memiliki arti “pure water” (“air yang jernih”) — terinspirasi dari air terjun Otowa. Salah satu keunikan Kiyomizu-dera adalah terdapat tiga aliran mata air yang melambangkan kesehatan, kemakmuran, dan rejeki. Kepercayaan lokal menyebutkan dengan membasuh diri atau meminum salah satu mata air ini, seseorang dapat memperoleh kebaikan dalam hidupnya.

Berkat lansekap alam yang indah, Kiyomizu-dera tetap menawan dikunjungi di segala musim. Sejak didirikan, kuil ini telah mengalami beberapa kali kerusakan karena api. Bangunan yang saat ini masih kokoh berdiri merupakan hasil rekonstruksi terakhir pada tahun 1633. Kiyomizu-dera juga telah masuk dalam daftar UNESCO World Cultural Heritage pada tahun 1944 sebagai salah satu Monumen Bersejarah di kota tua Kyoto.

Informasi mengenai sejarah, atraksi dan akses menuju Kiyomizu-Dera Temple, dapat dilihat pada situs web ini, ya.

Ninenzaka Yasaka Street

Dalam perjalanan menuju Kiyomizu-dera, saya melewati salah satu area yang cukup populer di kalangan wisatawan — Ninenzaka street. Bangunan-bangunan antik khas Kyoto yang kini menjadi toko suvenir dan penganan ringan menyambut pengunjung yang datang. Starbucks di Ninenzaka street — menjadi salah satu tempat yang ramai wisatawan karena merupakan satu-satunya cabang Starbucks di Jepang yang memiliki area tatami.

Hirobun Nagashi Soumen

“Nagashi” dalam bahasa Jepang berarti “mengalir”, dan “soumen” merupakan salah satu jenis mi di Jepang. Soumen biasanya lebih tipis dibandingkan ramen pada umumnya (kalau di Indonesia mungkin seperti sohun, hehe). Hirobun tidak hanya menyajikan soumen, tetapi pengalaman menikmati soumen yang unik, hingga membuat tempat ini sangat populer. Dalam durasi 10-15 menit, staff restoran akan menaruh seporsi kecil soumen di batang bambu dengan air mengalir, kemudian pengunjung harus menangkap soumen tersebut dengan sumpit.

Soumen yang mengalir berwarna putih — jika soumen berwarna pink seperti ini sudah muncul, artinya sesi makan telah selesai.

Informasi tentang akses dan menu yang disajikan Hirobun, dapat dilihat di sini.

Kichi-Kichi Omurice

Omurice — yang artinya omelette rice, merupakan menu makanan khas Jepang yang menyajikan nasi goreng dengan topping telur dadar dan saus tomat. Omurice sebenarnya sangat sederhana — namun cara membuat topping telur omelette-nya yang menjadikan makanan ini populer.

Berawal dari video yang viral di media sosial ketika memasak omurice, saya berkesempatan mengunjungi Kichi-Kichi Omurice di Kyoto. Chef Motokichi Yukimura menjadi terkenal berkat aksinya yang unik dan jenaka ketika memasak omurice. Restorannya cukup kecil — sehingga diperlukan reservasi untuk bisa makan di tempat.

Simak aksi chef Motokichi di akun Instagram @kichikichi_omurice.

Nishiki Market

Pasar Nishiki memiliki 130 toko yang terletak di jalur sempit sepanjang 400 meter. Layaknya pasar, di sini pengunjung dapat menikmati beragam makanan khas Kyoto dan juga suvenir lokal.

Selain lima tempat di atas, saya juga mampir ke beberapa tempat lain — saya rangkum dalam kumpulan foto-foto berikut, ya!

Slide #1: Yamamoto Cafe (front door)

Slide #2: Butter toast (Yamamoto Cafe)

Slide #3: Kanno Coffee Kyoto

Slide #4: Tamago-sando

Slide #5: Sobanomi Yoshimura, Kyoto

Slide #6: Warabi mochi + kakigori (Kiyomizu-dera)

Slide #7: Kyoto International Manga Museum

Slide #8: Gion district

Slide #9: Kyoto Tower (Kyoto Station)

Slide #10: PSA (Hahaha!)

Ginza&Harajuku (solo) Trip #DayFour

Hari keempat di Tokyo. Benar kata prakiraan cuaca: hujan seharian.

Pagi itu juga saya langsung mengubah jadwal perjalanan, yang awalnya ingin berkunjung ke Tokyo Disneysea. Saya putuskan hari itu untuk menjelajah ke Tsukiji Fish Market, Ginza, dan Harajuku. Saya berangkat sedikit lebih siang dari homestay karena menunggu hujan reda. Berbeda dengan udara Jakarta yang lembab ketika hujan, negara empat musim ini memiliki hujan yang berangin dingin. Saya rasa ini karena Jepang sedang mengalami transisi dari musim semi ke musim panas. Selain angin yang dingin, suhu pun bisa mencapai angka 16 derajat Celcius. Sedihnya, pakaian yang saya bawa dari Jakarta sebagian besar adalah untuk musim panas, hahahaha, tetapi saya masih membawa payung, cardigan, dan pashmina untuk menghalau angin yang super dingin.

Tujuan pertama hari ini adalah Tsukiji Fish Market! Pasar ikan di Jepang ini sangat terkenal di kalangan wisatawan. Atraksi khas yang dinanti para turis adalah fish auction. Aktivitas lelang ikan di Tsukiji dimulai ketika hari masih gelap; saat itulah para penjual mulai menurunkan ikan hasil tangkapan mereka dan memulai proses lelang. Dari beberapa artikel yang saya baca, pengunjung harus datang ke Tsukiji sekitar pukul 3 pagi. Bahkan ada yang menyebutkan pengunjung harus membeli tiket atau nomor urut tertentu karena terbatasnya jumlah penonton yang diijinkan melihat lelang tersebut. Salah satu tips mudah jika kamu sangat ingin melihat fish auction di Tsukiji adalah dengan memesan hotel yang dekat dengan area pasar dan bisa dijangkau dengan berjalan kaki. Perlu diingat bahwa seluruh kereta dan moda transportasi umum di Jepang tidak beroperasi pada pukul 12 malam hingga 5 pagi. Oh dan satu hal lagi, tidak boleh mengambil gambar atau video selama berada di area indoor pertokoan pasar Tsukiji.

Cloudy noon situation at Tsukiji Fish Market


Saya tiba di stasiun Tsukiji sekitar pukul 11 siang, dan langit masih mendung, diiringi gerimis kecil. Aroma amis ikan segar sudah terasa saat saya turun dari kereta 😀 Siang itu kondisi pasar cukup ramai, dan kelihatannya lebih banyak turis daripada warga lokal, hehehe. Saya mulai menyusuri pasar yang dipadati penjual produk laut yang masih segar dan juga hasil olahannya. Terdapat juga beragam restoran seafood, dan bagi kamu penggemar sushi, Tsukiji wajib kamu kunjungi. Salah satu snack yang menarik bagi saya adalah Unagi bakar (Unagi adalah bahasa Jepang dari ‘belut’). Karena khawatir alergi akan kambuh, saya hanya mengambil foto Unagi dan menikmatinya dari gambar hahaha.

The Unagi Stall

Super fresh seafood!

Seafood-based products

When foreigners and locals collide

Di sekitar area pasar Tsukiji, terdapat banyak kedai makanan, seperti donburi, ramen, dan udon. Kedainya sangat kecil dan hanya memiliki beberapa kursi, sehingga ketika jam makan siang tiba, antrian panjang mulai terlihat di pinggir jalan. Sekedar informasi saja, mereka yang makan di kedai ini beragam loh, mulai dari anak muda, turis, hingga pegawai kantoran berjas, hihi.

Mini restaurant near Tsukiji Fish Market

Saya pun urun niat dan membawa rasa lapar menuju daerah GINZA. Hujan makin deras saat saya tiba di Ginza, area perbelanjaan kelas menengah atas di Jepang. Menyusuri pedestrian sambil menahan angin dingin, akhirnya saya menemukan kedai tempura yang harganya cukup terjangkau, dan memiliki menu berbahasa Inggris (Thanks God!).

Usai makan siang, saya mulai menyusuri pedestrian di Ginza. Sepertinya area ini memang didesain untuk pusat perbelanjaan kelas atas, karena sebagian besar department store di Ginza menyajikan barang bermerek dengan harga selangit. Tentunya bagi kamu yang senang berburu barang fashion tertentu, Ginza adalah jawabannya. Saya mulai membuka Google Maps untuk mencari daerah pusat Ginza yang lebih ramai, dan akhirnya ketemu! Di area inilah saya melihat banyak brand fashion anak muda (seperti Uniqlo dan GU), dan saya pun mulai memasuki deretan toko-toko tersebut.

One of high-fashion area in Ginza

Intersection in Ginza

Kaki mulai lelah, hujan pun masih terus menaungi Tokyo. Angin bertiup makin kencang, tapi saya masih punya satu tempat yang ingin dikunjungi, yaitu HARAJUKU. Sesampainya di stasiun Harajuku, saya mencari lokasi Meiji Shrine, yang setelah berputar-putar, ternyata lokasinya persis di belakang stasiun, hehehe.


Berbeda dengan temple lainnya, halaman depan Meiji Shrine adalah hutan kecil dengan pepohonan besar. Terdapat gerbang besar yang disebut Torii, pembatas antara area suci kuil dan area umum. Jalan menuju area utama kuil penuh dengan kerikil dan basah karena hujan. Butuh waktu sekitar 10-15 menit dengan berjalan kaki untuk masuk ke area kuil. Sebelum masuk ke area utama, pengunjung harus membersihkan diri dengan air suci yang tersedia dekat gerbang masuk. Mencuci tangan pun ada caranya tersendiri dan dapat dibaca pada papan petunjuk.

One rainy and peaceful afternoon at Meiji Shrine

Umumya seseorang datang ke kuil untuk berdoa atau menyampaikan permohonan tertentu. Dengan niat yang tulus, saya menuliskan permohonan pribadi pada secarik kertas, memasukkannya pada amplop yang tersedia, dan menaruhnya di dalam kotak. Selain itu, saya juga membeli Good Fortune Charm seharga 800 yen. Hal menarik yang saya temukan di Meiji Shrine adalah Omikuji. Penggalan puisi yang berasal dari kepemimpinan Meiji ini berisikan nasihat yang diharapkan dapat memberikan semangat  bagi penerimanya. Inilah isi Omikuji yang saya dapatkan:

Keep moving on!

Waktu menunjukkan pukul 6 sore saat saya meninggalkan Meiji Shrine. Saya pun mulai menyusuri jalan utama Harajuku, meski hari mulai gelap dan angin dingin terus berhembus.  Sembari mencari tempat untuk makan malam, saya iseng membeli Garret Popcorn, sambil sesekali masuk ke toko kosmetik di sepanjang jalan Harajuku. Di ujung jalan, saya melihat dua tempat yang saya lupakan, yaitu LINE Harajuku Store dan Takeshita Dori (Dori berarti ‘jalan’). Akhirnya saya masuk ke Takeshita dulu, sebelum ke LINE Store. Wah, area ini sangat ramai dengan anak muda Jepang, dan sebagian besar dari mereka memiliki gaya pakaian yang unik; mulai dari warna rambut hingga aksesoris yang digunakan. Bagi kamu yang gemar mengoleksi baju dan sepatu, kamu harus datang ke Takeshita Dori. Di sepanjang jalan ini, beragam merek dan model baju/sepatu dapat kamu temui, dengan harga yang cukup murah (tergantung merek apa yang kamu sukai).


Tiba-tiba saya ingin makan udon. Namun, sejauh mata menilik setiap restoran di area ini, belum juga menemukan menu yang menarik. Saat hampir putus asa dan ingin kembali ke ujung jalan, saya melihat spanduk resto udon! Restoran kecil ini terletak hampir diujung jalan Takeshita, dan mereka juga menyediakan menu dalam bahasa Inggris. Udon pilihan saya? All-time favorite: CURRY UDON!


Hampir jam 8.30 malam di Tokyo. Sebelum kereta memasuki jam sibuknya, saya bergegas menuju tujuan terakhir hari itu: LINE Harajuku Store. Toko ini memiliki dua lantai. Lantai basement dinamakan Brown Room, karena bagian tersebut khusus menjual suvenir dengan karakter Brown. Bagi saya penggemar karakter LINE, datang ke toko ini sangat menyenangkan, sekaligus menggemaskan. Di sini saya bisa menemukan suvenir lucu khas karakter LINE, dan juga befoto bersama Brown, Cony, Sally, dan teman-temannya.

Seluruh badan sudah kuyup karena hujan dan angin seharian. Saatnya kembali ke Takadanobaba untuk beristirahat. Besok, hari Selasa (31/05) saya akan pergi ke Yokohama bersama seorang teman, Andre (kami biasa memanggilnya Cipong, hahaha).

Katanya, kota Yokohama adalah kota pelabuhan di Jepang yang masih memiliki pengaruh budaya Barat yang kuat. Hm, akan seperti apa ya isi kota ini?

#DayFive coming soon! xx.